Cukai Rokok Naik, Perokok Tidak Hiraukan Covid-19, Produsen Malah Cari Selah CSR di Masa Pandemi

Sudah menjadi santapan sehari-hari bagi seorang perokok aktif di dalam kehidupannya. Ini yang saya alami, bahkan saya lihat di lingkungan saya sendiri. Harga rokok masih terjangkau, pandemi tak kunjung berakhir, orang-orang di sekitar pun malah sibuk merokok untuk mengurangi stress, kata mereka. 


Hmmm.. Bagaimana kita bisa hidup sehat ya? 

Saya dan anak-anak pun dirumah bisa dikatakan perokok, walaupun dalam kategori pasif. 

Anggota Tim Komunikasi Kesehatan Publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dr. Reisa Broto Asmoro, menyebutkan bahwa seseorang yang mengidap Penyakit Tidak Menular (PTM), dan terjangkit virus Covid-19 memiliki potensi fatal yang tinggi. Hal tersebut, dikutip dari situs Kementerian Kesehatan, bahwa merokok juga merupakan salah satu faktor yang berisiko PTM (diabetes, hipertensi, jantung dan kanker) yang merupakan Komorbid Covid-19 (https://www.kemkes.go.id/). Faktor lain penyebab risiko PTM seperti TBC dan Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA).


Rabu, 29 Juli 2020

Kebetulan sekali saya bisa mengikuti acara talk show yang dipandu oleh host : Mas Don Brady di radio Ruang Publik KBR @kbr.id , membahas tentang "Mengapa Cukai Rokok Harus Naik di Saat Pandemi?"

Dari sebuah acara live tersebut, saya mendengarkan 2 (dua) narasumber yang cukup kompeten di bidangnya, beliau adalah Prof. dr. Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau dan Dr. Renny Nurhasana, Dosen dan Peneliti Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia.

Ketika mendengarkan obrolan-obrolan, pertanyaan yang dipaparkan oleh host dan para narasumber, saya pun mulai penasaran. Dan saya memulai pertanyaan yang juga ternyata sampai dibacakan. Wah senangnya, (Puji Tuhan disimak saat itu, dalam hati saya), sebagai berikut "Bagaimana cara menurunkan tingkat konsumtif masyarakat jika penyedia atau pebisnis malah gencar mengeluarkan produk yang murah?", itu salah satu pertanyaan saya di awal talk show. 


Tanggapan Prof. Hasbullah : “Hidup itu adalah pilihan. Mulai dari diri kita sendiri harus terus mengupayakan.” Well, sejujurnya saya masih kurang puas dengan jawaban beliau. Karena kenyataannya, selain dari iklan rokok yang gencar, yang saya dengar dan simak selama pandemi ini, salah satu produsen rokok malah melakukan CSR melalui bidang pendidikan. 

Terus terang saya sangat menyayangkan, walaupun produsen tersebut membantu di bidang pendidikan, karena bisa saja melalui CSR tersebut, anak-anak malah semakin bangga diberikan bantuan dari nama produsen itu dan menjadi salah satu konsumtif terhadap produk dari produsen tersebut.

Sungguh miris, menyoroti edukasi dibantu dengan produsen rokok. Apa itu yang diharapkan? Mudah-mudahaan Pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan.

Harga rokok per 1 Januari 2020 sebesar 23% mengalami kenaikan dan harga eceran rokok pun menjadi naik hingga 35% . Namun Prof. Hasbullah memaparkan bahwa “kenaikan cukai rokok tersebut masih belum signifikan karena kenaikan cukai rokok jangan dilihat dari berapa persennya, kita harus mengevaluasi atau menilai dan melihat arah tujuannya”. Bahkan Undang-Undang cukai juga menyebutkan bahwa, cukai merupakan salah satu alat untuk mengendalikan konsumsi, khususnya konsumsi barang yang membahayakan kesehatan ataupun membahayakan lingkungan”.

Jadi, bagaimana kita mengukur cukainya cukup atau belum? Kalau konsumsinya menurun, baru bisa dikatakan ada efek. Kenyataan konsumsi rokok jika dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu, konsumsi rokok 220M batang di Indonesia, sekarang malah 330M batang, sehingga masih jauh dari pengendalian, fakta 5 tahun terakhir anak remaja malah banyak yang merokok, artinya harga rokok masih terjangkau oleh mereka, jadi harga harus dinaikkan lagi. 

Saat ini harga rokok masih dihargai Rp20.000-Rp30.000, namun jika dilihat berdasarkan Kajian Pengendalian Tembakau per bungkus, misal bisa dihargai Rp70.000, maka baru akan terlihat efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok bagi mereka yang biasa merokok dan tidak akan dimulai bagi mereka yang belum pernah merokok.

Prof. Hasbullah juga mengatakan bahwa “virus itu bersahabat dengan perilaku si perokok. Sehingga bisa dikatakan tidak bertolak belakang dengan si rokok, aslakan industri berkomitmen membangun SDM yang lebih baik dan dapat membantu mereka untuk berbisnis yang lebih baik untuk rakyat dan menyehatkan sambil menguntungkan”.

Kenaikan rokok sebesar 23%, masih belum mampu menguruangi secara signifikan. Tapi dari sisi pendapatan negara sesuai Peraturan Presiden Nomor 72. Tahun 2020, penerimaan cukai dari hasil tembakau tahun ini sebesar Rp164,94T, Apakah hasilnya sudah maksimal dan bisa dikumpulkan dari cukai rokok? kata Mas Don.

“Cukai Tembakau memang merupakan salah satu yang paling efektif di berbagai negara dan terbukti dari kajian-kajiannya berhasil menurunkan prevalensi dengan mekanisme harga atau dengan menaikkan cukai”. ujar Dr. Renny.


Pandemi, rokok melalui kajian Kemenkes, 14x lebih parah dari gejala Covid-19, sehingga ini bisa dilakukan Pemerintah dalam menekan konsumsi selama pandemi, bisa dibuktikan dari ancaman masyarakat kita. Ada 2 (dua) hal yang bisa dilakukan untuk menekan tingkat konsumsi masyarakat yaitu dengan cara :

  1. Merampingkan simplifikasi layer. 

    Kajian Kemkeu tahun 2020, semakin sedikit variasi harga untuk masyarakat. Kemenku memiliki 10 layer dan sudah punya roadmap dari simplifikasi layer tersebut.

  1. Prevalensi cukai rokok

Kalo hitung-hitungan secara optimal, mungkin dari simplifikasi dan kenaikan harga rokok, produk masih belum 57 %, jadi masih banyak cukai yang bisa dinaikkan selain rokok. 

Jika dilihat dari sisi Bappenas, angka pengangguran cukup mengalami angka kenaikan 4-5,5 juta di tahun 2020 yang mengakibatkan kurangnya pemenuhan kebutuhan sehari-hari, pendapatan dan kurangnya gizi yang di konsumsi. Yang dilakukan pemerintah adalah antisipasi memberikan bantuan lebih dari separuh yaitu senilai Rp600rb yang disalurkan melalui Pemda per bulan yang memiliki pendapatan kurang atau kehilangan pekerjaan untuk mendapatkan kebutuhan dasar. 

Prof. Hasbullah, menghimbau semua masyarakat untuk selalu berhemat, misalnya dengan membeli makan-makanan bergizi dan sehat di masa pandemi yang bergizi seperti telur, tahu dan tempe yang juga sumber protein paling murah dan salah satu upaya untuk mencegah stunting dan membangun otak kita.


Kartu Pra Kerja, bansos tunai diperuntukkan untuk masyarakat. Keluarga mendapatkan kelonggaran dan ikat pinggang di rumah tangga tapi ternyata Program Keluarga Harapan (PKH) 9% lebih tinggi, terlihat 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi konsumsi rokok.

Menurut studi kualitatif dari dr. Renny yang memberikan dana tunai kepada PKH “Suami lebih mementingkan rokok dibandingkan pendidikan” (curhatan ibu-ibu di masyarakat). Jadi masih patriarki, perempuan mendapatkan berapa dipotong untuk suami untuk beli rokok.

Jadi, 20 tahun lagi kita baru akan merasakan akibatnya. Bersiaplah pemerintah, karena harus memiliki solusi, mengevaluasi kembali sistem penyaluran dan bantuan sosial, denormalisasi konsumsi rokok kepada keluarga Pra Sejahtera. Misalnya kriteria rumah tangga harus bebas perokok atau membuat komitmen-komitmen yang belum ada.

  1. Minimal menawarkan kepada mereka untuk berhenti merokok sehingga dapat mendenormaslisasi konsumsi rokok.

  2. Edukasi melalui Family Development Session, mengadakan meeting bulanan, atau mengedukasi t pembelian perokok.

  3. PKH harus direview karena dapat dijadikan sebagai salah satu contoh yang harus dievaluasi oleh Kemensos. 

Jadi bagaimana strategi Pemerintah dalam menangani kasus dan kondisi di masa Pandemi ini? Harapan saya, semoga Pemerintah dapat memberikan edukasi secara bertahap, mulai dari kaum yang masih memiliki latar pendidikan yang lemah.


Well, teman-teman, "Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesian Social Blogpreneur (ISB). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Boosting Your Career Skills with Creative Writing Course at The British Institute (TBI)

Rekomendasi Perawatan Wajah Paling Bergengsi Tahun 2024!

Senangnya Berkomunitas di MAMS Traveloka